Cerita Rakyat



Sejarah Mengenai Upacara Tradisional Siraman Gong Kyai Pradah / Pusaka Gong Kyai Pradah Di Kel. Kalipang Kec. Sutojayan Lodoyo Blitar

Tersebutlah dalam kisah, antara tahun 1704 – 1719 Masehi di Surakarta bertahtalah seorang Raja bemama SRI SUSUHUN AM PAKU BUWONO I. Raja ini mempunyai saudara tua yang lahir dari istri ampeyan (bukan Permaisuri) bernama PANGERAN PRABU.
Pada saat penobatan SRI SUSUHUNAN PAKU BUWONO I sebagai Raja, hati PANGERAN PRABU sangat kecewa karena sebagai saudara tua PANGERAN PRABU tidak dinobatkan sebagai Raja di Surakarta sehingga timbullah keinginannya untuk membunuh SRI SUSUHUNAN PAKU BUWOONO I

Namun akhirnya keinginun PANGERAN PRABU tersebut tercium oleh SRI SUSUHUNAN PAKU BUWONO I dan sebagai hukumannya PANGERAN PRABU diperintahkan untuk membuka hutan di daerah Lodoyo yang pada saat itu merupakan hutan yang sangat lebat yang dihuni oleh binatang – binatang buas serta hutan tersebut dianggap sebagai tempat yang sangat angker dimana banyak rokh – rokh jahat berkeliaran disana.

Hukuman yang diberikan oleh Raja SRI SUSUHUNAN PAKU BUWONO I kepada PANGERAN PRABU itu sebenarnya ialah agar PANGERAN PRABU menemui ajalnya di tempat hukuman karena dimakan oleh binatang – binatang buas atau sebab – sebab lain yang bisa terjadi di hutan yang masih liar tersebut PANGERAN PRABU mengakui akan kesalahannya serta bersedia melaksanakan hukuman yang diberikan oleh Raja yaitu membuka hutan di daerah Lodoyo.
Keberangkatannya diikuti oleh istrinya yaitu Putri WANDANSARI serta abdi kesayangannya bemama KI AMAT TARIMAN dengan membawa Pusaka berupa bende yang disebut Kyai Becak. Pusaka tersebut akan digunakan untuk tumbal hutan Lodoyo yang dianggap angker serta banyak dihuni oleh roh – roh jahat.

Menurut beberapa cerita bahwa bende Kyai Becak pernah digunakan oleh Demang Bocor untuk memadam- kan pemberontakan KI AGENG MANGIR seorang sakti yang tidak setia kepada Raja.
PANGERAN PRABU beserta pengikutnya berangkat dari Surakarta menuju kearah timur. Selang beberapa bulan mereka sampai di daerah Lodoyo.

Pertama – tama mereka datang di rumah seorang janda bemama NYI PARTASUTA di hutan Ngekul.
PANGERAN PRABU yang masih merasakan penderitaan dan kesedihan itu tidak lama tinggal di rumah janda NYI PARTASUTA dan ingin bertapa di hutan Pakel ( Wilayah Lodoyo bagian barat) dan untuk itu Pusaka Kyai Becak dititipkan kepada NYI PARTASUTA dengan pesan agar:
  1. Setiap tanggal 1 Syawal (bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri ) dan setiap tanggal 12 Rabiulawal ( ber­tepatan dengan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW) Pusaka tersebut harus dimandikan dengan air bunga setaman.
  2. Air bekas memandikan Pusaka ter­sebut dapat digunakan menyembuhkan penyakit serta dapat menentram kan hati bagi siapa yang mau meminumnya.

Pada suatu waktu KI AMAT TARIMAN sangat kebingungan karena terpisah dengan PANGERAN PRABU, sehingga akhirnya KI AMAT TARIMAN ingin mencoba membunyikan Gong Kyai Becak sebanyak tujuh kali dengan maksud agar apabila PANGERAN PRABU Mendengar bunyi bende / Gong tersebut tentu akan mencari kearah sumber suara itu.

Tetapi yang datang ternyata bukan PANGERAN PRABU seperti yang diharapkan namun beberapa ekor harimau besar. Anehnya harimau – harimau itu tidak mengganggu kepada KI AMAT TARIMAN bahkan memberikan petunjuk dimana PANGERAN PRABU berada sehingga Kyai Becak juga disebut Kyai Macan atau Kyai Pradah.

Di pesanggrahan hutan Pakel hati PANGERAN PRABU tetap tidak dapat tenang sehingga PANGERAN PRABU akan meninggalkan tempat itu namun pakaiannya tetap ditinggalkan di Padepokan hutan Pakel dan sampai sekarang tempat itu masih dikeramatkan oleh penduduk setempat dan sekitarnya.

Dari Pesanggrahan Pakel PANGERAN PRABU menuju kearah barat namun tidak lama berselang mereka bertemu dengan para prajurit – prajurit utusan dari Kerajaan Surakarta yang akhimya timbul perselisihan dan terjadilah peperangan yang di menangkan oleh PANGERAN PRABU. Setelah keadaan dianggap aman PANGERAN PRABU masih menunggu di bukit Gelung kemungkinan masih ada perajurit Surakarta yang datang kembali.

Setelah dirasa sudah betul – betul aman PANGERAN PRABU melanjutkan perjalanannya menuju kearah barat yaitu kehutan Keluk yang sekarang di sebut Desa Ngrejo. Di tempat ini PANGERAN PRABU memangkas rambutnya  dan ditanam bersama – sama dengan mahkota kebangsawanannya. Tem­pat penanaman itu sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk setempat dan sekitarnya.
PANGERAN PRABU melanjutkan perjalannya menuju hutan Dawuhan. Di tempat itu PANGERAN PRABU membuka ladang pertanian dengan menanami padi Gaga. Namun karena tanahnya pusa sehingga tanaman padi Gaga tersebut tidak dapat dipanen dan akhirnya tempat itu diberi nama Gagawurung.

Dari Gagawurung PANGERAN PRABU melanjutkan perjalanan menuju kearah timur dan sampailah mereka di hutan Darungan. Di tempat ini istrinya melahirkan seorang putra namun putra tersebut tidak berumur panjang karena meninggal dunia dan dimakamkan di gunung Pandan disebelah utara gunung bebek.

Perjalanan PANGERAN PRABU dilanjutkan lagi menuju kearah timur melewati Jegu dan sampailah di hutan Kedungwungu. Beberapa bulan di tem­pat ini NY I WANDANSARI akhimya mengalami hamil tua. Oleh PANGERAN PRABU, NYI WAN­DANSARI diajak naik ke gunung di Kaulon dan disinilah NYI WANDAN­SARI melahirkan putra kembar namun putra kembar tersebut juga tidak ber umur panjang dan meninggal dunia.

Semua itu karena tidak adanya piranti atau alat yang dapat digunakan untuk membantu dalam melahirkan anaknya. Sampai sekarang gunung tersebut di kenal dengan nama gunung Peranti.Sampai disini putuslah kisah PANGERAN PRABU dan tidak diketahui bagaimana kelanjutannya.
Kembali kepada janda NYI PAR­TASUTA dimana sepeninggal PANGERAN PRABU selalu melak- sanakan segala yang pernah dipesankan oleh PANGERAN PRABU kepadanya tentang Pusaka Kyai Becak. Setelah NYI PARTASUTA meninggal dunia, Pusaka Kyai Becak diserahkan kepada KI REDIBOYO di Ngekul.

Dari KI REDIBOYO, pusaka Kyai Becak diturunkan kepada KI DALANG REDIGUNO di Kepek. Dari KI DALANG REDIGUNO Pusaka Kyai Becak diturunkan kepada KYAI IMAM SAMPURNA.
Pada suatu ketika, karena KYAI IMAM SAMPURNA dipanggil ke istana Surakarta, maka Pusaka Kyai Becak atau Kyai Pradah diserahkan kepada adiknya bemama KYAI IMAM SECO yang berdiam di Sukoanyar (sekarang disebut Desa Sukorejo), yang pada waktu itu menjabat sebagai wakil Pengulu di Blitar.

Pada tahun 1793 KYAI IMAM SECO meninggal dunia dan Kyai Pradah dirawat dan dipelihara oleh RadenRONGGOKERTAREJO dan ditempatkan di Desa Kalipang Lodoyo sampai sekarang. (pada waktu itu Sukoanyar masih berawa – rawa).
Bentuk Kyai Pradah berupa Gong (kempul) laras lima yang dahulu dibalut/ ditutup dengan sutera Pelangi / Cinde dan disamping itu masih ada juga beberapa wayang krucil, kecer dan beberapa benda lainnya.

Sampai sekarang pesan PANGE RAN PRABU untuk memelihara Pusaka Kyai Pradah tetap dilaksanakan dengan baik serta menjadi suatu Upacara Adat / Tradisional Siraman Pusaka Kyai Pradah setiap tanggal 1 Syawal dan setiap tgl. 12 Rabiulawal dan Upacara yang terakhir ini biasanya dikunjungi oleh puluhan ribu manusia baik dari dalam maupun luar daerah. Demikian sejarah ringkas Pusaka Kyai Pradah di Lodoyo yang dikutip dari ceritera Babat Pusaka Kyai Pradah di Lodoyo menurut Serat Babat Tanah Jawi. 

Upacara Tradisional Siraman Gong Kyai Pradah di Kabupaten Dati II Blitar Jawa Timur, Madiun, Cabang Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah T1ngkat I Jawa Timur di Madiun, 1995, hlm. 1-5










SEJARAH KOTA BLITAR
Berdasarkan legenda, dahulu bangsa Tartar dari Asia Timur sempat menguasai daerah Blitar yang kala itu belum bernama Blitar. Majapahit saat itu merasa perlu untuk merebutnya. Kerajaan adidaya tersebut kemudian mengutus Nilasuwarna untuk memukul mundur bangsa Tartar.
Keberuntungan berpihak pada Nilasuwarna, ia dapat mengusir bangsa dari Mongolia itu. Atas jasanya, ia dianugerahi gelar sebagai Adipati Aryo Blitar I untuk kemudian memimpin daerah yang berhasil direbutnya tersebut. Ia menamakan tanah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembali pulangnya bangsa Tartar.

Akan tetapi, pada perkembangannya terjadi konflik antara Aryo Blitar I dengan Ki Sengguruh Kinareja yang tak lain adalah patihnya sendiri. Konflik ini terjadi karena Sengguruh ingin mempersunting Dewi Rayung Wulan, istri Aryo Blitar I.
Singkat cerita, Aryo Blitar I lengser dan Sengguruh meraih tahta dengan gelar Adipati Aryo Blitar II. Akan tetapi, pemberontakan kembali terjadi. Aryo Blitar II dipaksa turun oleh Joko Kandung, putra dari Aryo Blitar I. Kepemimpinan Joko Kandung dihentikan oleh kedatangan bangsa Belanda. Sebenarnya, rakyat Blitar yang multietnis saat itu telah melakukan perlawanan, tetapi dapat diredam oleh Belanda dengan membuat peraturan baru.-->

Kota Blitar mulai berstatus gemeente (kotapraja) pada tanggal 1 April 1906 berdasarkan peraturan Staatsblad van Nederlandsche Indie No. 150/1906. Pada tahun itu, juga dibentuk beberapa kota lain di Pulau Jawa, antara lain Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang, Samarang, Salatiga, Madioen, Malang, Soerabaja, dan Pasoeroean.

Dengan statusnya sebagai gemeente, selanjutnya di Blitar juga dibentuk Dewan Kotapradja Blitar yang beranggotakan 13 orang dan mendapatkan subsidi sebesar 11.850 gulden dari Pemerintah Hindia-Belanda. Untuk sementara, jabatan burgemeester (wali kota) dirangkap oleh Residen Kediri.
Pada zaman pendudukan Jepang, berdasarkan Osamu Seirei tahun 1942, kota ini disebut sebagai Blitar-shi dengan luas wilayah 16,1 km² dan dipimpin oleh seorang shi-chō.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 17/1950, Kota Blitar ditetapkan sebagai daerah kota kecil dengan luas wilayah 16,1 km². Dalam perkembangannya, nama kota ini kemudian diubah lagi menjadi Kotamadya Blitar berdasarkan Undang-Undang No. 18/1965. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 48/1982, luas wilayah Kotamadya Blitar ditambah menjadi 32,58 km² serta dikembangkan dari satu menjadi tiga kecamatan dengan 20 kelurahan. Terakhir, berdasarkan Undang-Undang No. 22/1999, nama Kotamadya Blitar diubah menjadi Kota Blitar.
Pariwisata

Potensi pariwisata Kota Blitar tidak lepas dari nilai-nilai sejarah yang masih kental tergurat di kota yang pernah menjadi salah satu tempat berkecamukmya semangat kepahlawanan pejuang bangsa. Nama-nama besar seperti Adipati Aryo Blitar, Proklamator Bung Karno, Shodancho Suprijadi, dan lain sebagainya menjadi inspirasi yang ikut mewarnai dinamika, arah, dan kemajuan kota yang sedang tumbuh ini.

Dalam upaya membangun iklim yang kondusif, didukung oleh sistem perdagangan barang dan jasa unggulan, pemerintah Kota Blitar memilih sektor pariwisata sebagai primadona untuk mengembangkan ekonomi daerah. Beberapa tempat tujuan wisata yang ada di Blitar, dari waktu ke waktu kian dibenahi dan diperkaya guna meningkatkan potensi wisata di Kota Blitar.

Tempat tujuan wisata di Kota Blitar antara lain:
Makam Bung Karno, tempat dimakamkannya presidan pertama sekaligus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno. Makam ini terletak di Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, sekitar 2 kilometer sebelah utara pusat kota.

Perpustakaan dan Museum Bung Karno merupakan perpustakaan yang selain berisi segala bentuk memorabilia Bung Karno, juga dikembangkan sebagai pusat studi terpadu. Beberapa koleksi yang ada saat ini adalah lukisan hidup Bung Karno yang dapat berdetak tepat pada bagian jantungnya, uang bergambar Bung Karno yang dapat menggulung sendiri, dan koleksi sumbangan dari Yayasan Idayu.

Istana Gebang atau lebih dikenal dengan sebutan Ndalem Gebang, merupakan rumah tempat tinggal orang tua Bung Karno. Istana ini bertempat di Jl. Sultan Agung 69. Di rumah ini pada setiap bulan Juni ramai didatangi pengunjung, baik dalam rangka peringatan hari ulang tahun Bung Karno maupun karena adanya kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Pemkot Blitar, seperti Grebeg Pancasila.

Petilasan Arya Blitar merupakan sebuah makam dari Adipati Arya Blitar yang terletak di Kelurahan Blitar, Kecamatan Sukorejo. Makam ini ramai dikunjungi pada bulan Sura (Muharram) dan juga setiap malam Jumat legi.

Monumen Supriyadi merupakan sebuah monumen untuk mengenang jasanya. Pada tahun 1945, Kota Blitar menjadi pusat pemberontakan tentara PETA yang dipimpin oleh Shodancho Suprijadi melawan tentara Jepang. Monumen ini terletak di depan bekas markas PETA dan Taman Makam Pahlawan Raden Wijaya. Selain itu, juga dibangun sebuah patung setengah dada Suprijadi yang terletak di depan Pendapa Kabupaten Blitar.

Kebon Rojo, yaitu taman hiburan dan rekreasi keluarga yang berada di belakang kompleks rumah dinas Walikota Blitar yang disediakan untuk masyarakat umum maupun wisatawan secara cuma-cuma. Di taman tersebut, terdapat beberapa jenis hewan peliharaan, fasilitas bermain anak-anak, tempat bersantai, panggung apresiasi seniman, air mancur, dan juga berbagai jenis tanaman langka yang berfungsi sebagai paru-paru kota.

Taman Air Sumberudel adalah taman air paling megah se-eks-Karesidenan Kediri. Taman air ini diresmikan kembali oleh Walikota Blitar pada tanggal 10 Oktober 2007 setelah direnovasi selama kurang lebih satu setengah tahun. Fasilitas yang dimilikinya cukup lengkap bila dibandingkan dengan taman-taman air lain di Jawa Timur.

Pusat Informasi Pariwisata dan Perdagangan
Pusat Informasi Pariwisata dan Perdagangan (PIPP) adalah pusat layanan informasi bagi para pelaku ekonomi, khususnya pelaku perdagangan, selain sebagai pusat layanan informasi tentang pariwisata. Pembangunan pusat informasi ini adalah bentuk realisasi kebijakan pembangunan sarana-prasarana ekonomi pada umumnya, serta sarana-prasarana perdagangan dan pariwisata pada khususnya. Ini adalah penjabaran dari pembangunan sistem perdagangan barang dan jasa unggulan sebagaimana yang tersurat dalam rumusan visi Kota Blitar.

PIPP menjadi media integrasi informasi dan publikasi pariwisata dan potensi daerah secara bersama-sama antara daerah Kota Blitar beserta daerah sekitarnya, seperti Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, Kota Kediri, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Nganjuk, serta daerah-daerah lainnya di wilayah administrasi Badan Koordinasi Wilayah I Madiun. PIPP diresmikan pada tanggal 3 Juli 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri bersamaan dengan peresmian beberapa objek lainnya, antara lain Stadion Gelora Supriyadi, Pasar Legi, dan Perpustakaan Persada Bung Karno.

Fasilitas pendukung
Stadion Gelora Supriyadi merupakan markas dari klub sepak bola PSBI Blitar dan PSBK Blitar.
Hotel Tugu Sri Lestari terletak di Jl. Merdeka. Hotel ini lebih dikenal dengan sebutan Sri Lestari saja. Hotel bergaya kolonial ini merupakan hotel tertua yang berdiri di pusat Kota Blitar dan merupakan saksi sejarah dari peristiwa pemberontakan PETA yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945.
Patria Plaza Hotel terletak di Jl. Kartini. Hotel ini diresmikan oleh Walikota Blitar pada tanggal 1 Januari 2005.

Hotel Puri Perdana terletak di Jl. Anjasmoro. Hotel ini adalah hotel pertama di Kota Blitar yang memberikan fasilitas internet gratis.
Rupa-rupa

Kota dan Kabupaten Blitar merupakan daerah utama yang dilewati oleh lahar Gunung Kelud apabila meletus.

Wakil Presiden Republik Indonesia, Boediono; Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono; dan Wakil Ketua KPK, Mochammad Jasin, lahir dan dibesarkan di kota ini. Semuanya merupakan alumni SMP Negeri 1 Blitar dan SMA Negeri 1 Blitar.
Puteri Indonesia 2007, Putri Raemawasti, lahir dan dibesarkan di kota ini.
Artis sinetron Anjasmara dan Hengky Kurniawan merupakan putra asli Blitar.
Produsen pesawat berkebangsaan Belanda-Amerika Serikat, Anthony Fokker, lahir di Blitar.

0 komentar:

Posting Komentar